Arsip untuk cinta

Kisah Sekeping Hati

Posted in Manajemen Cinta with tags , , , , , on November 27, 2008 by Umar Saifudin

Ternyata saya tidak sendiri. Ada satu dua orang lain yang memiliki kemiripan jalan hidup juga dengan saya. bahkan tiga, empat, lima orang. Selebihnya saya tidak tahu persis ceritanya. Yang pasti, beberapa teman dekat saya, ternyata juga mengalaminya. Ajaib!
Benar-benar ajaib. Barangkali memang takdir Nya yang telah menuntun jalan hidup masing-masing orang. Dan kita sebagai pelaku-nya, harus siap dan menerima dengan lapang dada terhadap apa saja yang menimpa diri kita. Entah itu nasib sukses-gagal, bahagia-sedih, sehat-sakit, kaya-miskin, termasuk diterima-ataupun ditolak. Apa? Cinta…
Yups, terkadang memang harus seperti itu. Belum tentu jika tida diterima, itu berarti kiamat impian hidup kita. Tidak! Katakan tidak sekali lagi.Tidak!
Yup, banyak orang yang mengalami kisah serupa, tapi tak sama dalam cara menyikapinya. Inilah yang membedakan antara jalan hidup satu orang dengan orang lainnya. Padahal alur ceritanya sama. Tapi kenapa berakhir berbeda?
Ada satu orang yang berakhir dengan sedih, pilu, bahkan mungkin ter-amat menyakitkan. Tapi tak sedikit pula (kok) yang berakhir dengan manis, gembira, tertawa, bahagia. Bukan hanya milik seorang saja. Bahkan dua pelaku yang baru saja terlibat perasaan emosional, tersita peluh pemikiran, sampai hati menjadi terluka-luka, tapi tetap saja dengan cepat ia memperbaikinya. Menata kembali menjadi sel-sel hidup yang bahkan menjadi lebih hidup.
Coba tanyakan saja pada yang pernah mengalaminya. Atau malah termasuk anda salah satu yang mengalaminya?? Hmm, sepertiny memang tidak menarik jika kisah roman kita berjalan datar-datar saja. Harus ada asam-garamnya. Harus ada pahit-manisnya. Biar lengkap semua pelajaran yang kita terima, sehingga kita bisa menjadi lebih dewasa dalam menghadapi semua persoalan hidup yang terus melaju dengan cepatnya. Tanpa kita sadar akan akhir dari semua; pertanggung jawaban atas semua tindakan kita padaNya….

(terinsipirasi dari kisah Abah, Ruri,Bachrun, dan saya sendiri… 🙂

“Dakwah itu Cinta lho…”

Posted in Ad Da'wah with tags , , , , , on September 2, 2008 by Umar Saifudin

Begitu sederhana ungkapan ini, tapi memiliki makna yang amat luar biasa. “Dakwah itu cinta… akhi…” Ini bukan perkataan seorang akhwat yang sedang memberi motivasi kepada seorang ikhwan, tapi ungkapan ini hanya pernah saya dapatkan dari seorang Ustadz (tepatnya Ust. Amanto Surya Langka., Lc; Satu-satunya Ustadz di Palangkaraya yang lulusa Tim-Teng +yang saya kenal 🙂 pada saat mengisi Kajian Kita Rutin Pagi hari di Langgar Al Huda, Kinibalu, Palangkaraya. Waktu itu saat sesi tanya jawab, ada seroang ikhwan yang menanyakan apakah mungkin saat sekarang ini bisa menghasilkan karya sekelas Imam Nawawi dengan Kitab Riyadhus Shalihin-nya atau Imam-imam yang lain dengan kitab, maj’mu, ataupun sunan-nya mengingat tidak mudah untuk mendapatkan seroang Guru yang bisa mendidik dan mengajari llmu-ilmu Islam, apalagi di Luar Jawa. Maka Ustad yang asli Dayak ini menyampaikan dua saja kuncinya, yaitu adanya kemauan dan kemampun. Itu saja. Kemudian bliau melanjutkan dengan memberikan beberapa karya hasil ulama-ulama terakhir, salah satunya ialah sebuah kitab berjudul “Dakwah itu Cinta” karya Syeikh Abbas as Sissy.

Pernah belum melihat atau bahkan sampai membuka-buka isinya buku itu seperti apa, kawan? Hem, saya sendiri belum pernah menemukannya. Yang saya tahu ialah buku karya beliau berjudul “Bagaimana Menyentuh Hati” yang merupakan kumpulan dari catatan harian dari perjalanan dakwah fardhiyah-nya bilau, yaitu Seikh Abbas as Sissy. Maka dengan segala keterbatasan yang ada, mari kita coba membedah apa dan bagaimana bisa dikatakan “Dakwah itu Cinta?”

Pertama kita tentunya harus tahu dulu dakwah itu apa.

Setelah kita paham tentang dakwah, maka selanjutnya kita perlu juga memahami apa itu Cinta? Ehm… sepertinya banyak diantara kita yang sudah merasakannya. Bagaimana ya rasanya? :d Apakah begitu sulitnya untuk diungkapkan? Kalau begitu mari kita bahasakan saja dengan kata-kata yang sederhana saja. Bisa?

Cinta itu ialah ungkapan perasaan, perhatian,sampai pada tingkat perngorbanan bagi suatu objek yang dicintainya. Itu cinta versi penulis. Nah, bagaimana kalau kita merujuk saja pada ulama kesohor zaman dulu yang lebih awal daripada kita dalam membahasanya. Yup, menurut Syeikh Ibnu Qayyim Al-Juziah dalam bukunya yang berjudul :” Taman Orang-orang Jatuh Cinta & Rekreasi Orang-orang Dimabuk Rindu “ seri 1( Cinta Dan Pandangan Mata ). menyebutkan bahwa :

1. Cinta ialah bagaimana kalbu seseorang selalu ingat kepada orang yang dicintainya.

2. Cinta pada hakikatnya ialah bilamana anda menyerahkan diri anda secara total kepada orang yang anda cintai tanpa menyisakan barang sedikitpun bagi diri anda.

3. Cinta ialah kesetiaan kalbu untuk tetap merindukan sang kekasih,tanpa memperdulikan celaan dan cacian yang mengecam sikapnya,bahkan hal itu terasa menyenangkan baginya.

4. Cinta ialah banyak pengorbanan untuk orang yang anda cintai dan enggan merepotkan orang yang anda cintai.

Nah, jika kita telah mengenal dan memahami apa itu dakwah, apa itu cinta, maka selanjutnya akan dengan mudah mengatakan “dakwah itu cinta lho…” 🙂 Selanjutnya tinggal dibuktikan saja, apa benar semudah kita mengucapkannya.

Dari pengalaman para Da’i, sepertinya kok tidak semudah itu ya. Karena dalam jalan dakwah, sudah menjadi sunnatullah bahwa ia tidak pernah lepas dari adanya mihnah-mihnah ataupun ujian. Mulai dari ujian harta, wanita, kekuasaan, sampai pada ‘ujian-ujian kecil’ seperti keikhlasan, pengorbanan, dan kesungguhan. Sampai disini, masihkah kita mau mengatakan bahwa ‘dakwah itu cinta?’

Pesona Kematangan

Posted in Manajemen Cinta with tags , , , , , , , on Agustus 12, 2008 by Umar Saifudin

Chemistry yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita sebenarnya hanya menegaskan satu fakta: ketika cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara laki-laki dan wanita memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak fakta yang tidak bisa dipahami dalam perspektif norma cinta yang lazim. Lebih banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan.

Namun itu tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah Bin Abi Sufyan dengan gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kekuatan cinta sesungguhnya dan selalu mengejewantah pada kematangan kepribadian kita. Misalnya cinta antara Utsman Bin Affan dan istrinya, Naila.

Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya, atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa hanya melalui mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah pemberian mereka menemukan konteksnya. Kebutuhan mereka pada orang lain bukan sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari kesadaran mendalam tentang keterbatasan manusia dan keniscayaan interdepensi manusia.

Pesona inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula yang membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. “Siapa lagi yang bisa menggantikan Khadijah?” tanya Rasulullah saw. Tapi bisakah kita membayangkan pertemuan dua pesona? Pesona kematangan dan pesona kecantikan serta kecerdasan?

Pesona itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini. Dahsyat, pasti! Pesonanya pesona. Dalam chemistry ini tidak ada pengecualian Muawiyah. Di sini semua pesona menyatu padu: seperti goresan pelangi di langit kehidupan pelangi Sang Nabi. Dua perempuan terhormat dari suku Quraisy itu mengisi kehidupan pribadi Sang Nabi pada dua babak yang berbeda. Khadijah hadir pada periode paling sulit di Mekkah. Aisyah hadir pada periode pertumbuhan yang rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi di pangkuan Aisyahlah, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi kenabiannya.

Dalam jiwa Sang Nabi, ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika beliau ditanya orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang cintanya pada khadijah, ia menjawab: “cinta itu dikaruniakan Allah padaku.” Cintanya pada Aisyah adalah bauran pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah berkata, “Rasulullah saw tidak bisa ‘menahan’ diri kalau bertemu Aisyah.” Tapi cintanya pada Khadijah adalah jawaban jiwa atas pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui kematangan Khadijah.