Arsip untuk Sastra

Pesona Kematangan

Posted in Manajemen Cinta with tags , , , , , , , on Agustus 12, 2008 by Umar Saifudin

Chemistry yang biasanya mempengaruhi hubungan cinta antara laki-laki dan wanita sebenarnya hanya menegaskan satu fakta: ketika cinta yang genuine bertemu dengan motif lain dalam diri manusia, dalam hal ini hasrat atau syahwat biologis, hubungan cinta antara laki-laki dan wanita memasuki wilayah yang sangat rumit dan kompleks. Banyak fakta yang tidak bisa dipahami dalam perspektif norma cinta yang lazim. Lebih banyak lagi kejutan yang lahir di ruang ketidakterdugaan.

Namun itu tidak menghalangi kita menemukan fakta yang lebih besar: bahwa dengan memandang itu sebagai pengecualian-pengecualian, seperti dalam kasus Muawiyah Bin Abi Sufyan dengan gadis badui yang tidak dapat mencintainya, kekuatan cinta sesungguhnya dan selalu mengejewantah pada kematangan kepribadian kita. Misalnya cinta antara Utsman Bin Affan dan istrinya, Naila.

Para pecinta sejati tidak memancarkan pesonanya dari ketampanan atau kecantikannya, atau kekuasaan dan kekayaannya, atau popularitas dan pengaruhnya. Pesona mereka memancar dari kematangan mereka. Mereka mencintai maka mereka memberi. Mereka kuat. Tapi kekuatan mereka menjadi sumber keteduhan jiwa orang-orang yang dicintainya. Mereka berisi, dan sangat independen. Tapi mereka tetap merasa membutuhkan orang lain, dan percaya bahwa hanya melalui mereka ia bisa bertumbuh dan bahwa pada orang-orang itulah pemberian mereka menemukan konteksnya. Kebutuhan mereka pada orang lain bukan sebentuk ketergantungan. Tapi lahir dari kesadaran mendalam tentang keterbatasan manusia dan keniscayaan interdepensi manusia.

Pesona inilah yang dipancarkan Khadijah pada Muhammad. Maka selisih umur tidak sanggup menghalangi pesona Khadijah menembus jiwa Muhammad. Pesona kematangan itu pula yang membuat beliau enggan menikah lagi bahkan setelah Khadijah wafat. “Siapa lagi yang bisa menggantikan Khadijah?” tanya Rasulullah saw. Tapi bisakah kita membayangkan pertemuan dua pesona? Pesona kematangan dan pesona kecantikan serta kecerdasan?

Pesona itulah yang dimiliki Aisyah: muda, cantik, innocent, cerdas dan matang dini. Dahsyat, pasti! Pesonanya pesona. Dalam chemistry ini tidak ada pengecualian Muawiyah. Di sini semua pesona menyatu padu: seperti goresan pelangi di langit kehidupan pelangi Sang Nabi. Dua perempuan terhormat dari suku Quraisy itu mengisi kehidupan pribadi Sang Nabi pada dua babak yang berbeda. Khadijah hadir pada periode paling sulit di Mekkah. Aisyah hadir pada periode pertumbuhan yang rumit di Madinah. Khadijah mengawali kehidupan kenabiannya. Tapi di pangkuan Aisyahlah, ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah menyelesaikan misi kenabiannya.

Dalam jiwa Sang Nabi, ada dua cinta yang berbeda pada kedua perempuan terhormat itu. Ketika beliau ditanya orang yang paling ia cintai, ia menjawab: Aisyah! Tapi ketika beliau ditanya tentang cintanya pada khadijah, ia menjawab: “cinta itu dikaruniakan Allah padaku.” Cintanya pada Aisyah adalah bauran pesona kematangan dan kecantikan yang melahirkan syahwat. Maka Ummu Salamah berkata, “Rasulullah saw tidak bisa ‘menahan’ diri kalau bertemu Aisyah.” Tapi cintanya pada Khadijah adalah jawaban jiwa atas pesona kematangan Khadijah: cinta itu dikirim Allah melalui kematangan Khadijah.

SAYAP YANG TAK AKAN PERNAH PATAH

Posted in Sastra with tags , , , , on Agustus 12, 2008 by Umar Saifudin

oleh : Anis Matta, Lc

Mari kita bicara tentang orang-orang yang patah hati. Atau kasihnya tak
sampai, atau cintanya tertolak.
Seperti sayap-sayap Gibran yang patah.
Atau kisah kasih Zainuddin dan Hayati yang kandas ketika kapal
Vanderwicjk tenggelam.
Atau cinta Qais dan Laila yang membuat mereka
‘majnun’, lalu mati.
Atau, jangan-jangan ini juga cerita tentang
cintamu sendiri, yang kandas ditempa takdir, atau layu tak berbalas.

Itu cerita cinta yang digali dari mata air air mata. Dunia tidak merah
jambu disana.
Hanya ada Qais yang telah majnun dan meratap di tengah
gurun kenestapaan sembari memanggil burung-burung.=
Oh burung, adakah yang mau meminjamkan sayap.
Aku ingin terbang menjemput sang kekasih hati.

Mari kita ikut berbelasungkawa untuk mereka. Mereka orang-orang baik
yang perlu dikasihani.
Atau, jika mereka adalah kamu sendiri, maka
terimalah ucapan belasungkawaku, dan belajarlah mengasihani dirimu
sendiri.
Di alam jiwa, sayap cinta itu sesungguhnya tak pernah patah. Kasih
selalu sampai disana.
“Apabila ada cinta dihati yang satu, pastilah ada
cinta di hati yang lain,” kata Rumi, “Sebab tangan yang satu tak kan
bisa bertepuk tanpa tangan yang lain”. Mungkin Rumi bercerita tentang
apa yang seharusnya. Sementara kita menyaksikan fakta lain.

Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah, maka cinta yang lain
hanya upaya menunjukkan cinta pada-Nya, pengejawantahan ibadah hati
yang paling hakiki yaitu : Selamanya memberi yang bisa kita berikan, selamanya
membahagiakan orang-orang yang kita cintai.
Dalam makna memberi itu
posisi kita sangat kuat. Kita tak perlu kecewa atau terhina dengan
penolakan, atau lemah atau melankolik saat kasih kandas karena
takdir-Nya. Sebab disini kita justru sedang melakukan sebuah “pekerjaan
jiwa” yang besar dan agung: mencintai.
Ketika kasih tak sampai, atau uluran tangan cinta tertolak, yang
sesungguhnya terjadi hanyalah “kesempatan memberi” yang lewat. Hanya
itu.
Setiap saat kesempatan semacam itu dapat terulang. Selama kita
memiliki cinta, memiliki “sesuatu” yang dapat kita berikan, maka
persoalan penolakan atau ketidaksampaian, jadi tidak relevan. Ini hanya
murni masalah waktu.

Para pecinta sejati selamanya hanya bertanya:
“Apakah yang akan kuberikan?” Tentang kepada “siapa” sesuatu itu
diberikan, itu menjadi sekunder.
Jadi tidak hanya patah atau hancur karena lemah. Kita lemah karena
posisi jiwa kita salah.
Seperti ini: kita mencintai seseorang, lalu
kita menggantungkan harapan kebahagiaan hidup dengan hidup bersamanya!
Maka ketika dia menolak untuk hidup bersama, itu lantas menjadi sumber
kesengsaraan. Kita menderita bukan karena kita mencintai. Tapi karena
kita menggantungkan sumber kebahagiaan kita pada kenyataan bahwa orang
lain mencintai kita.

“Wa annahuu Huwa adhhaka wa abkaa” QS. An-Najm : 43